Selasa, 13 November 2007

Allahku...
bicaralah padaku bila aku kesepian,
bisikkanlah dukunganMu bila aku dirundung kecemasan,
dengarkanlah suaraku bila aku jatuh,
sudilah menjadi bagiku penghiburan dalam perjalanan,
tempat bernaung diwaktu panas,
tempat berteduh dikala hujan,
tongkat penuntun dikala kelelahan,
dan penolong dalam bahaya.
semoga aku berhasil mencapai tujuanku,
sekarang,
dan juga nanti pada akhir hidupku.
Amin, Amin, Amin Ya Robbal Alamin...
cinta kami Ya Rasul akankah sampai padamu
rindu kami Ya Rasul tak sabar ingin bertemu
dalam hidup sekejap ini
kujunjung tinggi namaMu
kujujung tinggi namaMu

dalam renungan kuteringat padamu
selalu bergema sholawat untukmu
tak terlupakan semua pengorbanan/pengabdian
di jalanmu yang menuju kebenaran

bila waktuku datang
hasratku dijalanmu
jalan yang selalu terang
jalan lurus yang kutuju

Ya Rasul hadir dalam hijrah hidupku
perjalanan yang berbatu dan berliku
meski gelombang uji coba menghadang
aku kan berdiri kukuh dan berjuang

bila waktuku datang
hasratku dijalanmu
jalan yang selalu terang
jalan lurus yang kutuju

Senin, 12 November 2007

PENGANTAR (by Karen Armstrong)

diambil dari kata pengantar buku Sejarah Muhammad

Karya Karen Armstrong

Edisi Oktober 2001

Saya menulis biografi Muhammad ini lebih dari sepuluh tahun lalu ketika muncul krisis Salman Rusdhi. Cukup lama saya merasa terusik oleh prasangka terhadap Islam yang sering saya jumpai, bahkan dikalangan yang paling liberal dan toleran. Setelah peristiwa-peristiwa mengerikan abad 20, saya merasa bahwa kita tidak boleh membiarkan pandangan yang didistorsi dan tidak akurat tentang agama yang dianut oleh 1,2 miliar orang – seperlima dari penduduk dunia – ini hidup. Ketika Ayatollah Khomeini mengeluarkan fatwa mati terhadap Rusdhi dan penerbitnya, prasangka Barat ini justru makin meluas.
Pada 1990, ketika saya menulis buku ini, tidak seorang pun di Inggris mau mendengar bahwa hampir sebulan setelah keluarnya fatwa itu, dalam sebuah pertemuan Konggres Islam, 44 dari 50 negara anggota mengecam fatwa Khomeini karena dianggap tidak Islami – membuat Iran panas dingin. Tidak banyak orang barat tertarik untuk mendengar bahwa para Syekh Arab Saudi, tanah suci Islam, dan Universitas Al-Azhar di Kairo yang sangat prestisius, juga menyatakan bahwa fatwa itu bertentangan dengan hukum Islam. Hanya segelintir orang yang tampaknya mau mendengarkan dengan penuh simpati bahwa banyak orang Islam di Inggris yang berseberangan pendapat dengan Khomeini, tidak ingin melihat Rusdhi dibunuh, tapi merasa sangat sedih oleh penggambaran Nabi Muhammad yang menjijikkan dalam novelnya. Kalangan intelektual Barat ingin meyakini bahwa seluruh dunia Islam menantikan darah Rusdhi. Beberapa penulis, intelektual, dan filsuf terkemuka di Inggris melukiskan dengan suatu cara yang memperlihatkan kebodohan yang memalukan atau pengabdian terhadap kebenaran. Di mata mereka, Islam adalah agama yang fanatik dan tidak toleran, yang tidak perlu dihormati; dan kepekaan umat Islam yang merasa disakiti oleh penggambaran Rusdhi tentang Nabi mereka dalam The Satanic Verses dianggap tidak penting.
Saya menulis buku ini karena penggambaran Rusdhi tentang Muhammad menjadi satu-satunya bacaan yang kemungkinan besar dibaca oleh orang Barat. Meskipun saya dapat memahami apa yang ingin dilakukan Rusdhi dalam novelnya, kisah sebenarnya tentang Sang Nabi harus ada, karena dia adalah salah satu manusia paling berpengaruh yang pernah hidup. Cukup sulit menemukan penerbit, mengingat banyak yang beranggapan bahwa umat Islam akan marah karena seorang wanita kafir seperti saya berani menulis tentang Nabi mereka, dan bahwa jika mereka menerbitkan buku ini saya harus segera bersembunyi sebagaimana Rusdhi. Tapi sebagaimana yang kemudian terbukti, saya sangat terharu dengan sambutan hangat dan baik umat Islam terhadap buku saya dimasa-masa sulit itu. Memang, umat Islam dan para Islamis yang serius menjadi orang-orang pertama yang memperlakukan saya dengan serius dan percaya bahwa saya mungkin sesuatu yang lebih dari seorang biarawati yang melarikan diri, yang suka memancing kesulitan. Dan selama sepuluh tahun kemudian, tampaknya endemi Islamofobia Barat mulai lenyap. Prasangka lama setiap saat akan muncul, tapi orang makin mau memberi manfaat dari keraguan itu kepada umat Islam.
Kemudian datanglah peristiwa mengejutkan 11 September 2001, ketika para ekstrimis Muslim menghancurkan World Trade Center di New York dan sayap gedung Pentagon, menewaskan lebih dari lima ribu orang. Kejahatan ini tampaknya mendukung semua pandangan negatif Barat tentang Islam sebagai agama fanatik yang mendukung pembunuhan dan teror. Saya menulis pengantar buku ini sebulan setelah serangan itu.
Sungguh saat yang tidak tepat. Ide bahwa Islam punya kecenderungan dan berbahaya terhadap kekerasan masih hidup subur. Dalam diskusi-diskusi yang tiada henti setelah tragedi itu, para pengkritik Islam sering mengutip ayat-ayat Quran yang keras meskipun lepas dari konteksnya, dengan mengatakan bahwa ayat-ayat ini dapat dengan mudah mengilhami dan mendukung ekstremisme. Sangat sering mereka mengabaikan fakta bahwa baik kitab suci Yahudi maupun kitab suci Kristen bisa sama kerasnya. Dalam Taurat, bagian paling suci dari Al-Kitab Yahudi, Bani Israil berkali-kali diperintahkan untuk mengusir orang-orang Kana’an dari Tanah Terjanjikan, menghancurkan simbol-simbol suci mereka, dan tidak membuat perjanjian dengan mereka. Kaum fundamentalis Yahudi menggunakan teks-teks ini untuk menjustifikasi kekerasan terhadap orang-orang Palestina dan penentangan religius terhadap proses damai Timur Tengah. Padahal hampur semua orang cukup tahu mengenai Yudaisme untuk menyadari bahwa ayat-ayat yang kaku ini tidak sepenuhnya representatif dan bahwa menggunakannya dengan cara ini adalah salah. Demikian pula, Yesus biasanya ditampilkan sebagai seorang pencinta damai, tapi dalam Injil dia sering berbicara dan berperilaku cukup agresif. Dalam satu kesempatan, dia bahkan mengatakan bahwa dia datang bukan untuk perdamaian tapi untuk perang. Akan tetapi tidak seorang pun mengutip ayat-ayat ini ketika orang-orang Serbia Kristen membantai delapan ribu Muslim di Srebreneca. Tidak seorang pun menuduh agama Kristen adalah agama yang secara inheren berbahaya dan suka kekerasan, karena sebagian orang cukup tahu mengenai agama yang kompleks ini untuk memahami bahwa halnya tidak tepat membuat tuduhan semacam itu. Sebagian besar orang barat memiliki pemahaman yang tidak memadai semacam itu tentang Islam sehingga mereka tidak dapat menilai secara adil atau mendiskusikan masalah-masalah ini dalam suatu cara yang bermanfaat.
Namun, dimasa-masa gelap ini, ketika seolah-oleh terlihat bahwa upaya untuk mempromosikan pemahaman Islam-Barat tampaknya akan gagal, ada saat-saat yang mencerahkan. Pertama-tama, saya terkesan oleh cara Presiden George W Bush dan Perdana Menteri Tony Blair menegaskan bahwa kelompok teroris tidak mewakili tradisi Islam yang kaya dan kompleks; mereka menyempatkan diri mengunjungi masjid-masjid, untuk meyakinkan umat gIslam bahwa perang yang mereka kobarkan di Afganistan bukanlah untuk melawan Islam, dan menekankan fakta bahwa Islam tetap merupakan agama damai. Ini adalah sesuatu yang sama sekali baru. Tidak ada pemimpin politik pernah melakukan langkah tegas ini pada saat krisis Rusdhi.
Kemudian ada fakta mengharukan bahwa banyak orang menyadari mereka tidak bisa lagi masa bodoh terhadap agama Islam. Di Amerika Serikat, Al-Quran terjual sangat laris di toko-toko buku; penjualan buku-buku tentang Islam, termasuk buku-buku karya saya, melambung. 12 tahun yang lalu, sangat sedikit orang yang tertarik untuk mempelajari kebenaran tentang agama Islam sedangkan kini, orang tidak pernah cukup mendengar tentang Islam, Al-Quran, dan Sang Nabi setelah peristiwa 11 September yang mengguncangkan.
Benar ada reaksi anti-Islam di sebagian negara Barat. Orang-orang yang bertampang Timur Tengah dibunuh, termasuk seorang Syaikh, seorang Kristen Koptik dan di London seorang Afgan yang bekerja sebagai sopir taksi, mungkin seorang pengungsi yang lari dari penindasan Taliban, dilumpuhkan mulai dari leher ke bawah. Kaum wanita takut meninggalkan rumah dengan menggunakan hijab. Masjid-masjid diserang. Namun juga ada keprihatinan luas terhadap peristiwa-peristiwa mengerikan ini dan tekad untuk menghentikannya. Semua ini positif, dan jika kekejaman September mengarah pada pemahaman dan apresiasi baru terhadap Islam di Barat, sesuatu yang baik akan muncul dari tragedi ini.
Bagi saya, sangat menyakitkan bahwa para teroris percaya mereka sedang mengikuti jejak Nabi Muhammad. Usamah bin Ladin, tersangka utama, penganut ideologi fundamentalis yang didasarkan pada kerja kenabian Muhammad. Menurut program fundamentalis ini, yang pertama kali digagas oleh Sayyid Quthub, seorang intelektual Mesir dibunuh oleh Presiden Jamal Abdul Nassir pada 1966, kehidupan Sang Nabi adalah epifani, sebuah program ilahi, yang diwahyuksn oleh Tuhan; inilah satu-satunya cara untuk menciptakan masyarakat dengan orientasi yang benar. Nabi Muhammad berjuang melawan jahiliyah (secara harfiah berarti Abad Kebodohan), istilah yang digunakan oleh umat Islam untuk melukiskan kerusakan akhlak di Arabia pra-Islam. Namun setiap abad, menurut Quthub, memiliki jahiliyahnya sendiri dan umat Islam abad 20 harus mengikuti contoh Nabi dan melenyapkan kejahatan ini dari daerah mereka. Pertama-tama, mereka harus menarik diri dari masyarakat jahili yang merupakan arus utama dan membentuk sebuah garda depan yang penuh dedikasi yang suatu hari akan berperang atas nama umat Islam, sebagaimana yang dilakukan Muhammad ketika dia pertama kali mulai berdakwah di Makah. Akhirnya, seperti Muhammad, umat Islam sejati harus menarik diri secara total dari lingkungan jahiliyah, dan menciptakan sebuah masyarakat yang benar-benar Islami, sebuah kantung orang-orang beriman, tempat mereka dapat menyiapkan perjuangan berikutnya. Dalam tahap terakhir program itu, umat Islam harus dipaksa untuk berjihad, dengan keyakinan akan menang - sebagaimana Muhammad ketika dia menaklukkan Makah pada 630 dan menyatukan Arabia dibawah kekuasaan Islam.
Bin Ladin dengan jelas menganut ideologi ini. Beberapa minggu setelah peristiwa 11 september, dia sering menggunakan terminologi Quthub, dan kamp-kamp pelatihannya dapat dilihat sebagai kantung-kantung orang beriman dimana garda depannya penuh dedikasi menyiapkan diri untuk jihad. Para pembajak juga mengenang Muhammad, ketika mereka menaiki pesawat. ’Kita harus optimis,’ demikian dikatakan kepada mereka sebagaimana terungkap dalam dokumen yang ditemukan di bagasi mereka, ’Nabi selalu optimis.’
Tetapi anggapan bahwa Muhammad akan bersikap optimistis dalam pembantaian yang dilakukan atas namanya pada 11 September merupaka sesuatu yang cabul, karena, sebagaimana akan saya tunjukkan di buku ini, Muhammad menghabiskan sebagian besar hidupnya dalam usaha untuk menghentikan pembunuhan semena-mena itu. Kata Islam itu sendiri, yang berarti ’penyerahan’ eksistensial seluruh diri mereka kepada Tuhan, berhubungan dengan kata salam, ’keselamatan.’ Dan yang terpenting, Muhammad sangat menentang kekerasan dan mendukung kebijakan non-kekerasan yang juga dijunjung tinggi oleh Gandhi. Dengan membayangkan bahwa perang suci merupakan puncak prestasi kenabiannya, kaum fundamentalis telah mendistorsi seluruh makna hidupnya. Jauh dari citra bapak jihad, Muhammad adalah seorang pencipta perdamaian, yang mempertaruhkan hidupnya dan hampir kehilangan kesetiaan dari sahabat-sahabat terdekatnya, karena dia sangat menghendaki rekonsiliasi dengan Makah. Alih-alih mengobarkan perang habis-habisan sampai mati, Muhammad siap berunding dan berkompromi. Dan sikap rendah hati dan mengalah ini terbukti, dalam bahasa Al-Quran, merupakan sebuah kemenangan besar (fath).
Kita membutuhkan kisah Nabi di masa yang berbahaya ini. Para ekstrimis Muslim tidak boleh dibiarkan membajak biografi Muhammad dan memelintirnya agar sesuai dengan tujuan mereka sendiri. Lebih dari itu, masih banyak yang dapat kita pelajari dari Nabi tentang bagaimana kita harus bertindak di dunia kita yang telah banyak berubah. Muhammad tidak punya cetak biru, tidak punya rencana aksi yang jelas, ketika dia memulai dakwahnya. Rencana semacam ini pasti berakar pada dunia kuno yang penuh kekerasan berupa penyerangan, balas dendam, serangan balasan, yang dia tahu harus digantikan. Alih-alih membuat sebuah kebijakan dan berpegang padanya, Muhammad hanya mendengarkan dengan penuh perhatian, kecerdasan dan kepekaan terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi, membiarkan logika batinnya berbicara kepadanya, memandang dengan visi yang lebih jauh daripada sahabat-sahabatnya, dan mengambil tindakan dengan tepat. Dengan demikian dia dapat memperoleh solusi bagi Arabia yang dikoyak perang, solusi yang pada awalnya sangat tidak dapat dipahami. Kita juga tergagap-gagap memahami perubahan fundamental setelah tragedi September. Kita juga harus menyadari bahwa kita tidak dapat, misalnya, memerangi jenis perang baru ini dengan senjata an ideologi Perang Dingin. Kita membutuhkan solusi baru bagi situasi kita yang belum pernah ada sebelumnya, dan dapat belajar banyak dari pengendalian diri Sang Nabi. Tetapi yang terpenting, kita dapat belajar dari Muhammad bagaimana menciptakan perdamaian. Seluruh perjuangannya memperlihatkan bahwa prioritas pertama adalah menghilangkan kerakusan, kebencian dan penghinaan dari hati kita sendiri dan mereformasi masyarakat kita. Hanya setelah itu kita dapat membangun sebuah dunia yang stabil dan aman, tempat orang dapat hidup bersama dengan harmonis, dan saling menghormati perbedaan masing-masing.
Di Barat, kita tidak dapat pernah beramai dengan Islam; pandangan kita tentang agama ini sangat kasar, acuh tak acuh dan arogan, tapi kita sekarang telah belajar bahwa kita tidak dapat mempertahankan sikap tidak acuh dan penuh prasangka semacam itu. Pada akhir biografi ini, saya mengutip ilmuwan Kanada Wilfred Cantwell Smith, yang karyanya selalu memberi inspirasi bagi saya. Menulis pada 1956, dia menunjukkan bahwa baik dunia Barat maupun dunia Islam harus melakukan upaya besar jika mereka tidak ingin gagal menghadapi ujian abad 20. Umat Islam harus menyesuaikan diri dengan masyarakat barat dan sukses Barat, karena ini adalah fakta kehidupan. Tetapi orang Barat juga harus belajar bahwa ’mereka tinggal di planet yang sama ini bukan bersama orang-orang yang lebih rendah tapi orang-orang yang setara.’ Sampai peradaban Barat dan teologi Kristen dapat ’memperlakukan orang lain dengan penuh hormat, dua entitas ini ada akhirnya akan gagal untuk menyesuaikan diri dengan aktualitas-aktualitas abad 20.’ Tragedi 11 September memperlihatkan bahwa meskipun sejumlah kemajuan telah dicapai, kita semua – Barat dan Islam – gagal menghadapi ujian ini. Jika kita melakukan yang lebih baik di abad 21, orang Barat harus belajar untuk memahami umat Islam yang bersamanya mereka menghuni plenet yang sama. Mereka harus belajar untuk menghormati dan menghargai agama mereka, kebutuhan mereka, kemarahan mereka, dan aspirasi mereka. Dan tidak ada awal yang lebih baik untuk memulai proses penting ini selain dengan mengetahui lebih akurat tentang kehidupan Nabi Muhammad, yang kecerdasan dan kearifannya yang luar biasa dapat menerangi zaman yang gelap dan menakutkan ini.

Jumat, 09 November 2007

semoga...

semoga,
tulisan tulisan yang ada,
bermakna,
untuk saya, dan anda...